Tak hanya manusia yang beda rupa, beda kepala. Kopi hitam pun ternyata juga. Banyak orang awam yang nyeletuk ke saya “ah kopi hitam ya sama saja, rasanya. Sama-sama kopi”. Padahal bagi pencinta kopi, tiap kopi bisa beda rasa dan aroma meski sama-sama tersaji dalam wujud kopi hitam.
Kopi sendiri memiliki karakter yang begitu banyak ragamnya. Sejatinya kopi sendiri tak hanya satu rasa, satu aroma. Beda varietas, beda kopinya. Beda ketinggian, beda pula cupping notes-nya. Beda proses pascapanen, beda pula lagi rasanya. Itu masih perbedaan sebelum masuk ke proses penyeduhan. Kalau sudah begini masih berani bilang kopi hitam itu sama saja?
Perjalanan panjang kopi ini menghasilkan keberagaman yang pada akhirnya bisa dinikmati dan dirayakan dengan suka cita di dalam cangkir. Itu kenapa dalam setiap rantai industrinya kopi diasuh oleh mereka yang kompeten di bidangnya. Dalam proses tanam dan panen ada petani yang sudah berpengalaman dan teredukasi. Dalam proses pascapanen ada prosesor kopi yang turun tangan memproses kopi-kopi tadi. Mana yang berpotensi baik diproses secara semiwashed, natural, honey hingga proses eksperimental lainnya.
Belum lagi para q-grader dan r-grader yang bertugas mengurasi rasa. Memberi nilai-nilai objektif sebelum kopi beredar dengan harga dan kualitas yang layak. Setelahnya ada green buyer, ada penyangrai kopi yang mengeluarkan potensi rasa pada kopi-kopi tadi. Lalu masuk di meja seduh. Diseduh sedemikian rupa oleh barista sehingga kita bisa menikmatinya dengan suka cita.
Lalu bagaimana bisa secangkir kopi hitam rasanya bisa sama? Sudah pasti tidak mungkin. Mereka yang masih belajar soal kopi mungkin masih belum peka terhadap rupa-rupa rasa. Itu kenapa diperlukan melatih sensory skill agar lidah dan indra pengecapnya peka.
Tak ada yang sama dalam kopi hitam. Satu-satunya yang sama adalah keinginan kita agar kopi hitam di mana pun berada bisa dinikmati dalam keseruan yang setara.
Sumber: https://ottencoffee.co.id/majalah/kenapa-kopi-hitam-rasanya-bisa-beda-beda